Terkaya 2.................lanjutan
Selain Djarum, Robert dan Michael adalah pemegang saham terbesar di Bank Central Asia (BCA). Mereka berdua melalui Farindo Holding Ltd. menguasai 51 % saham BCA. Selain itu, mereka juga memiliki perkebunan kelapa sawit seluas 65.000 hektare diKalimantan Barat sejak tahun 2008, serta sejumlah properti di antaranya pemilik Grand Indonesia dan perusahaan elektronik. Salah satu bisnis Group Djarum di sektor ini bergerak di bawah bendera Polytron yang telah beroperasi lebih dari 30 tahun. Perusahaan Polytron ini kini juga memproduksi ponsel yang sebelumnya hanya meproduksi AC, kulkas, produk video dan audio, dan dispenser. Melalui perusahaan yang baru dibuat yakni Ventures Global Prima Digital, mereka juga membeli Kaskus, situs Indonesia yang paling populer.[2]
Robert sangat menyukai olahraga bulu tangkis yang bermula dari sekedar hobi lalu mendirikan PB Djarum pada tahun 1969. Salah satu pemain bulu tangkis yang berasal dari PB Djarum adalah Liem Swie King, yang terkenal dengan julukan “King Smash”.
Robert Budi Hartono menikahi seorang wanita bernama Widowati Hartono atau lebih akrab dengan nama Giok Hartono. Bersamanya, Pemilik PT Djarum ini memiliki tiga orang putra yang kesemuanya telah menyelesaikan pendidikan. Mereka adalah Victor Hartono, Martin Hartono, dan Armand Hartono.
Djarum[sunting | sunting sumber]
Berawal dari Mr. Oei Wie Gwan membeli usaha kecil dalam bidang kretek bernama Djarum Gramophon pada tahun 1951 mengubah namanya menjadi Djarum. Oei mulai memasarkan kretek dengan merek “Djarum” yang ternyata sukses di pasaran. Setelah kebakaran hampir memusnahkan perusahaan pada tahun 1963 (Oei meninggal tak lama kemudian), Djarum kembali bangkit dan memodernisasikan peralatan di pabriknya. Pada tahun 1972 Djarum mulai mengeskpor produk rokoknya ke luar negeri. Tiga tahun kemudian Djarum memasarkan Djarum Filter, merek pertamanya yang diproduksi menggunakan mesin, diikuti merek Djarum Super yang diperkenalkan pada tahun 1981.
Bersama kakaknya Michael Bambang Hartono, Robert di usianya yang ke 22 tahun menerima warisan salah satu perusahaan rokok ternama saat ini, Djarum. Perusahaan Djarum sebelumnya merupakan usaha kecil yang bernama Djarum Gramophon yang kemudian dibeli oleh ayah Robert pada tahun 1951 dan mengubah namanya menjadi Djarum. Robert dan kakaknya menerima warisan ini setelah ayahnya meninggal. Pada saat itu pabrik perusahaan Djarum baru saja terbakar dan mengalami kondisi yang tidak stabil. Namun kemudian di tangan dua bersaudara Hartono bisa bertumbuh menjadi perusahaan raksasa.
Saat ini, di Amerika Serikat pun perusahaan rokok ini memilki pangsa pasar yang besar, dan di negeri asalnya sendiri, Indonesia, produksi Djarum mencapai 48 miliar batang pertahun atau 20% dari total produksi nasional.[butuh rujukan] Seiring dengan pertumbuhannya, perusahaan rokok ini menjelma dari perusahaan rokok menjadi Group Bisnis yang berinvestasi di berbagai sektor.
Djarum mereka, dilarang di Amerika Serikat sejak 2009 bersama dengan rokok kretek lainnya, karena telah diluncurkannya Dos Hermanos, sebuah cerutu premium pencampuran tembakau Brasil dan Indonesia.
R. Budi Hartono dengan Group Djarum yang dipimpinnya pun melebarkan sayap ke banyak sektor antara lain perbankan, properti, agrobisnis, elektronik dan multimedia. Diversifikasi bisnis dan investasi yang dilakukan Group Djarum ini memperkokoh imperium bisnisnya yang berawal pada tahun 1951.
2. Susilo Wonowidjojo & Keluarga
Tjoa Jien Hwie alias Surya Wonowidjoyo (lahir di Fujian, Republik Rakyat Tiongkok, 15 Agustus 1923 – meninggal 29 Agustus 1985 pada umur 62 tahun) adalah seorang pengusaha Indonesia yang merupakan pendiri Gudang Garam, salah satu produsen rokok terbesar di Indonesia. Ia berimigrasi ke Indonesia pada waktu berumur 3 tahun bersama keluarganya. Di Indonesia, mereka pertama kali menetap di Sampang, Madura. Surya sejak kecil sudah bergelut di bidang industri rokok. Ia sempat bekerja di pabrik rokok "93" milik pamannya. Ia kemudian keluar karena tidak puas. Pada usia 35 tahun, ia mendirikan perusahaannya sendiri, pabrik rokok Gudang Garam di Kediri, Jawa Timur. Konon, ilham pemberian nama Gudang Garam diperolehnya dari mimpi. Gudang Garam didirikannya pada tahun 1958 yang kemudian berkembang pesat dengan jumlah karyawan mencapai 500.000 orang yang menghasilkan 50 juta batang kretek setiap bulannya. Pada tahun 1966, Gudang Garam telah tercatat sebagai pabrik kretek terbesar di Indonesia.
Surya bekerja keras merintis bisnisnya. Ia bekerja tanpa modal yang cukup, kecuali kerja keras. Seringkali ia baru meninggalkan pabrik pada dinihari. Surya meninggal pada tahun 1985, meninggalkan perusahaannya Gudang Garam yang pada tahun 2001 sudah memiliki enam unit pabrik di atas lahan seluas 100 hektare, memiliki 40.000 buruh dan sekitar 3.000 karyawan tetap. Cukai rokok yang ia bayarkan mencapai lebih dari Rp. 100 miliar per tahunnya. Gudang garam dilanjutkan oleh anaknya, Susilo Wonowidjojo.
3. Anthony Salim
Anthony Salim atau yang biasa dikenal dengan nama Liem Hong Sien merupakan salah satu orang yang masuk ke dalam 10 Tokoh Bisnis yang paling berpengaruh pada tahun2005 oleh Warta Ekonomi. Predikat itu diberikan karena dirinya berhasil membangun kembali Group Salim yang saat itu mengalami kegagalan yang diakibatkan oleh krisis ekonomi tahun 1998[1].
Anthony Salim lahir dari keluarga yang tergolong mapan. Ayahnya, Sudono Salim adalah pemimpin dari Salim Group yang pada akhirnya diteruskan oleh Anthony Salim sendiri.
Salim Group pada masa ayah dari Anthony Salim yaitu Sudono Salim sebenarnya pernah mengalami masa keemasan yaitu sebelum terjadi krisis moneter pada tahun 1998. Bahkan majalah Forbes pernah menobatkan pendiri Salim Group tersebut sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia. Namun saat terjadi krisis moneter, Salim Group banyak mempunyai hutang hingga mencapai 55 Trilyun rupiah. Anthony Salim yang memegang kekuasaan pada Salim Group akhirnya harus melunasi hutangnya dengan cara menjual beberapa perusahaan yang dimilikinya yaitu PT Indocement Tunggal Perkasa, PT BCA, dan PT Indomobil Sukses Internasional.
Meskipun demikian, Anthony Salim masih mempunyai beberapa perusahaan besar yang tidak dia jual. Perusahaan tersebut antara lain adalah PT Indofood Sukses Makmur Tbk dan PT Bogasari Flour Mills. Kedua perusahaan ini merupakan perusahaan penghasil mie instant dan tepung terigu terbesar di dunia.
Berkat usahanya membangun perusahaan mie instant dan tepung terigu, Anthony Salim pernah dinobatkan sebagai taipan terkaya nomor 3 di Indonesia oleh Majalah Globe Asia. Beliau berada di bawah Budi Hartono yang notabenenya adalah pemilik dari Djarum Group dan Eka Tjipta Widjaja yang merupakan pemilik Sinar Mas Group. Kekayaannya ditaksir mencapai 3 miliar dollar Amerika atau jika dikonversikan sekitar 27 trilyun rupiah. Hal ini dikarenakan Anthony Salim memiliki banyak saham baik listed maupun non listed.
Perusahaan paling penting yang dimiliki Anthony Salim adalah PT Indofood Sukses Makmur Tbk dan PT Bogasari Flour Mills. Produknya sudah banyak sekali dikenal oleh masyarakat Indonesia bahkan dunia. Contohnya saja adalah mie instant. Pasti kebanyakan orang Indonesia sudah banyak yang mengenal mie instant Indomie, Supermi, danSarimi. Ketiga jenis mie ini pernah menjadi favorit banyak orang di Indonesia. Selain mie instant, produk lainnya yang sudah banyak dikenal adalah susu Indomilk, tepung terigu Bogasari Segitiga Biru, Kunci Biru, dan Cakra Kembar. Bahkan minyak goreng Bimoli dan mentega Simas Palmia adalah milik Anthony Salim. Pada tahun 2009, PT Indofood pernah mencatat laba bersih yang diperolehnya tahun itu yakni mencapai 2 Triliun rupiah dan ini merupakan prestasi yang sangat membanggakan. Laba bersih tersebut merupakan keuntungan yang paling besar yang pernah dia raih selama menjalani bisnisnya. Padahal pada tahun 2009, harga komoditas terus bergejolak namun PT Indofood berhasil melewatinya.
Dalam masalah bisnis, Anthony Salim mempunyai prinsip bisnis untuk PT Indofood. Prinsipnya adalah Anthony ingin PT Indofood tetap berinovasi dan berekspansi. Bahkan untuk mendukung prinsipnya itu, Anthony Salim bekerjasama dengan Nestle S.A untuk memperbesar pangsa pasar yang semakin sulit untuk ditembus. Untuk melancarkan bisnisnya tersebut, Anthony Salim berani untuk menyetor 50% saham. Strateginya dalam memimpin perusahaan tergolong berhasil. Dia yakin dengan adanya komunikasi yang baik dengan karyawan, maka kinerja perusahaan bisa fokus dan menghasilkan.
4. Eka Tjipta Widjaja
Eka Tjipta Widjaja (lahir di Quanzhou, Fujian, Republik Rakyat Tiongkok dengan nama Oei Ek Tjhong, 3 Oktober 1923; umur 91 tahun) adalah seorang pengusaha dan pendiri serta pengendali Sinar Mas Group. Ia merupakan orang pertama terkaya di Indonesia menurut Majalah Globe Asia edisi bulan desember 2012 dengan kekayaan mencapai 8,7 miliar Dolar Amerika Serikat. [1]
Pada tahun 2011, menurut Forbes, ia menduduki peringkat ke-3 orang terkaya di Indonesia, dengan total kekayaan US$ 8 miliar [2][3].
Eka Tjipta dilahirkan dari keluarga miskin di Fujian, Republik Rakyat Tiongkok. Pada tahun 1931, ia melakukan migrasi ke Makassar, Sulawesi Selatan.
Ia juga merupakan pendiri dari yayasan Eka Tjipta Foundation.
Eka Tjipta adalah ayah dari Oei Hong Leong, orang terkaya ke-32 di Singapura pada tahun 2013.[4]
5. Sri Prakash Lohia
Sri Prakash Lohia adalah pendiri dan ketua Indorama Corporation. Indorama Corporation adalah perusahaan petrokimia dan tekstil.[1][2]
Lohia lahir dan besar di India, tetapi menghabiskan sebagian besar masa hidup profesionalnya di Indonesia sejak tahun 1974.[3]Pada tahun 2013, Forbes menempatkannya sebagai orang terkaya ke-6 di Indonesia dengan kekayaan bersih US$3 miliar.[4]
Lohia lahir di Kolkata pada tanggal 11 Agustus 1952 dari pasangan M.L. Lohia dan Kanchan Devi Lohia. Ia memiliki tiga saudara — Om, Ajey (Ajay Prakash), dan Aloke (Alok atau Anil Prakash) — dan satu saudari — Aruna.[4][5]
Lohia lulus dari University of Delhi pada tahun 1971 dengan gelar Bachelor of Commerce.[1]
Pada tahun 1973, Lohia pindah ke Indonesia bersama ayahnya, Mohan Lal Lohia, dan merintis Indorama Synthetics. Perusahaan tersebut mulai memproduksi benang pintal tahun 1976. Pada 1991, Indorama Synthetics melakukan diversifikasi dan merambah industri serat poliester. Resin poliester botol (PET) mulai diproduksi tahun 1995.
Tahun 2006, Lohia mengakuisisi pabrik olefin terintegrasi di Nigeria dan saat ini merupakan perusahaan petrokimia terbesar di Afrika Barat sekaligus produsen olefin terbesar kedua di benua Afrika.[3]
Indorama Corporation adalah perusahaan holding utama milik Lohia yang berkantor pusat di Singapura.
Pada tahun 2012, Lohia dianugerahi Pravasi Bharatiya Samman Award (Overseas Indian Award) oleh Presiden India.[6]
Tahun 2013, Lohia adalah miliarder terkaya ke-395 di dunia dengan kekayaan bersih sebesar $3,4 miliar (versi majalah Forbes).
Lohia bersama istrinya, Seema, dikaruniai dua anak, Amit dan Shruti. Putranya, Amit Lohia, lulus magna cum laude dari University of Pennsylvania’s Wharton School of Business.[7][8] Ia saat ini menjabat sebagai direktur pelaksana Indorama Corporation dan direktur di sejumlah anak perusahaan Indorama. Putri Lohia, Shruti Hora, lulus dai Babson College dan saat ini menetap di Singapura.
Lohia adalah adik ipar Lakshmi Mittal.[4][9]
Lohia memiliki salah satu koleksi buku tua dan litograf terbesar di dunia.[10] Ia memiliki koleksi litograf berwarna terbesar kedua di dunia. Saat ini ia terlibat dalam proyek digitalisasi semua litograf yang dikoleksinya dan yang tersimpan di perpustakaan-perpustakaan besar di seluruh dunia.
6. Chairul Tanjung
Chairul Tanjung (ejaan Soewandi: Chairul Tandjung, lahir di Jakarta, 16 Juni 1962; umur 53 tahun[1]) adalah pengusaha asalIndonesia. Ia menjabat sebagai Menko Perekonomian menggantikan Hatta Rajasa sejak 19 Mei 2014 hingga 27 Oktober 2014. Namanya dikenal luas sebagai pengusaha sukses yang memimpin CT Corp.[2]
Chairul memulainya bisnisnya ketika ia kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia[2]. Sempat jatuh bangun, akhirnya ia sukses membangun bisnisnya.[3] Kini perusahaan konglomerasi miliknya CT Corp, menjadi sebuah perusahaan yang membawahi beberapa anak perusahaan seperti Trans Corp, Bank Mega, dan CT Global Resources.[3]
Asal usul[sunting | sunting sumber]
Chairul Tanjung lahir di Jakarta dari pasangan Abdul Ghafar Tanjung dan Halimah. Ayahnya adalah seorang wartawan pada orde lama yang menerbitkan surat kabar beroplah kecil.[1] Sedangkan ibunya merupakan seorang ibu rumah tangga. Ayah Chairul berasal dari Sibolga, Sumatera Utara, sedangkan ibunya dari Cibadak, Jawa Barat.[4] Chairul berada dalam keluarga bersama enam saudara lainya. Ketika Orde Baru, usaha ayahnya dipaksa tutup karena berseberangan secara politik dengan penguasa saat itu[1]. Keadaan ini memaksa orang tuanya menjual rumah dan mereka tinggal diKAMAR losmen yang sempit.[1]
Karier dan kehidupan[sunting | sunting sumber]
Selepas menyelesaikan sekolahnya di SMA Negeri 1 Jakarta pada tahun 1981, Chairul masuk Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.[5] (lulus 1987[1]). Ketika kuliah inilah ia mulai masuk dunia bisnis dan juga mendapat penghargaan sebagai Mahasiswa Teladan Tingkat Nasional 1984-1985.[1]
Demi memenuhi kebutuhan kuliah, ia berjualan buku kuliah stensilan, kaos, dan foto kopi di kampus. Chairul juga pernah mendirikan sebuah toko peralatan kedokteran dan laboratorium di bilangan Senen, Jakarta Pusat, namun bangkrut.[3] Selepas kuliah, Chairul mendirikan PT Pariarti Shindutama bersama tiga rekannya pada 1987. Bermodal awal Rp 150 juta dari Bank Exim, mereka memproduksi sepatu anak-anak untuk ekspor[6] Keberuntungan berpihak padanya, karena perusahaan tersebut langsung mendapat pesanan 160 ribu pasang sepatu dari Italia. Akan tetapi karena perbedaan visi tentang ekspansi usaha, Chairul memilih pisah dan mendirikan usaha sendiri.[6]
Kepiawaiannya membangun jaringan dan sebagai pengusaha, membuat bisnisnya semakin berkembang. Mengarahkan usahanya ke konglomerasi, Chairul mereposisikan dirinya ke tiga bisnis inti: keuangan, properti, dan multimedia. Di bidang keuangan, ia mengambil alih Bank Karman yang kini bernama Bank Mega.[3]
Ia menamakan perusahaan tersebut dengan Para Group. Perusahaan konglomerasi ini mempunyai Para Inti Holdindo sebagaifather holding company, yang membawahkan beberapa sub-holding, yakni Para Global Investindo (bisnis keuangan), Para Inti Investindo (media dan investasi), dan Para Inti Propertindo (properti).[1]
Di bawah Para Group, Chairul memiliki sejumlah perusahaan di bidang finansial, antara lain Asuransi Umum Mega, Asuransi Jiwa Mega Life, Para Multi Finance, Bank Mega, Mega Capital Indonesia, Bank Mega Syariah, dan Mega Finance. Sementara di bidang properti dan investasi, perusahaan tersebut membawahi Para Bandung Propertindo, Para Bali Propertindo, Batam Indah Investindo, dan Mega Indah Propertindo.[7] Di bidang penyiaran dan multimedia, Para Group memiliki Trans TV, Trans7, Mahagagaya Perdana, Trans Fashion, Trans Lifestyle, dan Trans Studio.[7]
Khusus di bisnis properti, Para Group memiliki Bandung Supermall.[3] Mal seluas 3 hektar ini menghabiskan dana Rp 99 miliar. Para Group meluncurkan Bandung Supermall sebagai Central Business District pada 1999.[1] Sementara di bidang investasi, pada awal 2010 Para Group melalui anak perusahaannya, Trans Corp membeli sebagian besar saham Carefour Indonesia, yakni sejumlah 40 persen. MoU (memorandum of understanding) pembelian saham Carrefour ini ditandatangani pada tanggal 12 Maret 2010 diPerancis.[8]
Pada tahun 2010, majalah ternama Forbes menempatkan Chairul sebagai salah satu orang terkaya di dunia. Ia berada di urutan ke-937 dengan total kekayaan mencapai USD 1 miliar.[9] Satu tahun kemudian, menurut Forbes, kekayaan Chairul telah meningkat lebih dari dua kali lipat, yakni dengan total kekayaan USD 2,1 miliar.[10] Tahun 2014, Chairul memiliki kekayaan sebesar USD 4 miliar dan termasuk orang terkaya nomor 375 dunia.
Pada tanggal 1 Desember 2011, Chairul Tanjung meresmikan perubahan Para Grup menjadi CT Corp. CT Corp terdiri dari tiga perusahaan sub holding: Mega Corp, Trans Corp, dan CT Global Resources yang meliputi layanan finansial, media, ritel, gaya hidup, hiburan, dan sumber daya alam.[11]
Pemikiran[sunting | sunting sumber]
Chairul menyatakan bahwa dalam membangun bisnis, mengembangkan jaringan adalah penting. Selain itu memiliki rekanan yang baik sangat diperlukan.[12] Membangun relasi pun bukan hanya kepada perusahaan yang sudah ternama, tetapi juga pada yang belum terkenal sekalipun. Bagi Chairul, pertemanan yang baik akan membantu proses berkembangnya bisnis yang dikerjakan. Ketika bisnis pada kondisi tidak bagus (baca: sepi pelanggan) maka jejaring bisa diandalkan. Bagi Chairul, bahkan berteman dengan petugas pengantar surat pun adalah penting[12]
Dalam hal investasi, Chairul memiliki idealisme bahwa perusahaan lokalpun bisa menjadi perusahaan yang bisa bersinergi dengan perusahaan-perusahaan multinasional.[8]. Ia tidak menutup diri untuk bekerja sama dengan perusahaan multinasional dari luar negeri. Baginya ini bukan upaya menjual negara. Akan tetapi ini merupakan upaya perusahaan nasional agar bisa berdiri sendiri dan jadi tuan rumah di negeri sendiri[8]
Menurutnya modal memang penting dalam membangun dan mengembangkan bisnis. Namun kemauan dan kerja keras, merupakan hal paling pokok yang harus dimiliki seseorang yang ingin sukses.[5] Baginya mendapatkan mitra kerja yang handal adalah segalanya. Dimana membangun kepercayaan sama halnya dengan membangun integritas. Di sinilah pentingnya berjejaring dalam menjalankan bisnis.[12]
Dalam bisnis, Chairul menyatakan bahwa generasi muda sudah seharusnya sabar, dan mau menapaki tangga usaha satu persatu.[7] Menurutnya membangun sebuah bisnis tidak seperti membalikkan telapak tangan.[7] Dibutuhkan sebuah kesabaran, dan tak pernah menyerah. Jangan sampai banyak yang mengambil jalan seketika, karena dalam dunia usaha kesabaran adalah salah satu kunci utama dalam mencuri hati pasar.[7] Membangun integritas adalah penting bagi Chairul. Adalah manusiawi ketika berusaha, seseorang ingin segera mendapatkan hasilnya. Namun tidak semua hasil bisa diterima secara langsung.[7]
Menko Perekonomian[sunting | sunting sumber]
Pada 16 Mei 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN) Chairul Tanjung sebagai Menko Perekonomian. Ia menggantikanHatta Rajasa yang telah resmi mengundurkan diri. "Saya telah mengambil kesimpulan untuk mengangkat saudara Chairul Tanjung sebagai Menko Perekonomian yang baru"kata SBY di Kompleks Istana Kepresidenan di Jakarta.[13][14] Pelantikan Chairul Tanjung dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Senin, 19 Mei 2014berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2014. Hatta Rajasa mengundurkan diri karena maju menjadi calon wapres Prabowo Subianto dalam pilpres 2014 dengan dukungan dari Partai Gerindra, PAN, PKS, Golkar dan PPP.[15].
Guru Besar[sunting | sunting sumber]
Pada 18 April 2015, Chairul Tanjung dikukuhkan sebagai guru besar bidang ilmu kewirausahaan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya[16]. Pengukuhan tersebut dilakukan di ruang Garuda Mukti, Gedung Rektorat, kampus C Unair. Ia menjadi guru besar ke-438 Unair[17].
7.Boenjamin Setiawan
dr. Boenjamin Setiawan, Ph.D. (Khouw Liep Boen) lebih dikenal dengan "Dr. Boen" adalah seorang pengusaha asal Indonesia. Bersama 6 saudaranya, ia mendirikan PTKalbe Farma, bergerak dibidang farmasi, yang berkembang menjadi Grup Kalbe. Grup Kalbe berkembang kebeberapa lini,diantaranya: farmasi, makanan kesehatan, bisnis pengepakan, distribusi, pergudangan, sarana riset modern, pendidikan (Kalbis Institute) dan rumah sakit[1]. Pada 2008, jabatannya di Kalbe digantikan oleh Bernadette Ruth Irawati Setiady, keponakan dari Dr. Boen. Pada 2013, majalah Forbes menobatkan Dr. Boen sebagai orang terkaya no. 7 di Indonesia[2].
Kalbe Farma[sunting | sunting sumber]
Awalnya, Kalbe didirikan oleh 6 bersaudara: Khow Lip Tjoen, Theresia Harsini Setiady, Khouw Lip Swan, Boenjamin Setiawan, Maria Karmila, dan Fransiscus Bing Aryantodisebuah garasi di Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada 10 September 1966. Awalnya Kalbe menggarap obat-obat etikal (obat dengan resep dokter), dan berlanjut memproduksi obat-obat bebas (over the counter/OTC). Beberapa produk yang dikembangkan antara lain Promag, obat batuk Wood's, Neuralgin, Mixagrip, Komix, Extra Joss dan Prenagen .
Riwayat Pendidikan[sunting | sunting sumber]
Dr. Boen memiliki latar belakang akademis, khususnya di bidang farmakologi dan farmakinetik. Ia meraih gelar dokter dari Universitas Indonesia dan Ph.D. bidang farmakologi dari University of California, AS. Sebelum terjun ke bidang bisnis, ia sempat beberapa tahun menjadi dosen. Sepulang dari sekolah di AS, ia mencoba peruntungan dengan menggeluti bisnis farmasi, dengan mendirikan Kalbe.
Penghargaan[sunting | sunting sumber]
· Tokoh Bisnis Paling Berpengaruh 2005 (Warta Indonesia)
· Lifetime Achievement Award 2014 - Tahir Foundation [3]
8. Mochtar Riady
Mochtar Riady (Hanzi: 李文正, Hokkien: Li Moe Tie, pinyin: Li Wenzheng; lahir di Kota Malang, 12 Mei 1929; umur 86 tahun) adalah seorang pengusaha Indonesia terkemuka, pendiri dan presiden komisaris dari Lippo Group. Ia banyak dikenal orang sebagai seorang praktisi perbankan andal, serta salah seorang konglomerat keturunan Tionghoa-Indonesia telah yang berhasil mengembangkan grup bisnisnya hingga ke mancanegara.
Pada 2011, Forbes merilis daftar orang terkaya di Indonesia, Mochtar Riady menduduki peringkat ke-38 dengan total kekayaan US$ 650 juta [3].
Kehidupan awal[sunting | sunting sumber]
Ayah Mochtar Riady adalah seorang pedagang batik bernama Liapi (1888-1959), sedangkan ibunya bernama Sibelau (1889-1939). Kedua orangtuanya merantau dari Fujian dan tiba di Malang pada tahun 1918.[1]
Pada tahun 1947, Riady ditangkap oleh pemerintah Belanda karena menentang pembentukan Negara Indonesia Timur dan sempat ditahan di penjara Lowokwaru, Malang. Ia kemudian di buang ke Cina, dan ia kemudian mengambil kuliah filosofi di Universitas Nanking. Mochtar Riady tinggal di Hongkong hingga tahun 1950, dan kemudian kembali lagi ke Indonesia.[4] Pada tahun 1951 ia menikahi Suryawati Lidya, seorang wanita asal Jember.[1]
Perjalanan karier[sunting | sunting sumber]
Mochtar Riady sudah bercita-cita menjadi seorang bankir di usia 10 tahun. Ketertarikan Mochtar Riady yang dilahirkan di Malang pada tanggal 12 Mei 1929 ini disebabkan karena setiap hari ketika berangkat sekolah, dia selalu melewati sebuah gedung megah yang merupakan kantor dari Nederlandsche Handels Bank (NHB) dan melihat para pegawai bank yang berpakaian rapih dan kelihatan sibuk. Mochtar Riady masih sangat ingin menjadi seorang bankir, namun ayahnya tidak mendukung karena profesi bankir menurut ayahnya hanya untuk orang kaya, sedangkan kondisi keluarga mereka saat itu sangat miskin.
Oleh mertuanya, Mochtar Riady diserahi tanggungjawab untuk mengurus sebuah toko kecil. Dalam tempo tiga tahun Mochtar Riady telah dapat memajukan toko mertuanya tersebut menjadi yang terbesar di kota Jember. Cita-citanya yang sangat ingin menjadi seorang bankir membuatnya untuk memutuskan pergi ke Jakarta pada tahun 1954, walaupun saat itu dia tidak memiliki seorang kenalan pun di sana dan ditentang oleh keluarganya. Mochtar Riady berprinsip bahwa jika sebuah pohon ditanam di dalam pot atau di dalam rumah tidak akan pernah tinggi, namun akan terjadi sebaliknya bila ditanam di sebuah lahan yang luas.
Untuk mencari relasi, Mochtar Riady bekerja di sebuah CV di jalan hayam wuruk selama enam bulan, kemudian ia bekerja pada seorang importer, di waktu bersamaan ia pun bekerjasama dengan temannya untuk berbisnis kapal kecil. Sampai saat itu, Mochtar Riady masih sangat ingin menjadi seorang bankir, di setiap kali bertemu relasinya, ia selalu mengutarakan keinginannya itu. Suatu saat temannya mengabari dia jika ada sebuah bank yang lagi terkena masalah dan menawarinya untuk memperbaikinya, Mochtar Riady tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut walau saat itu dia tidak punya pengalaman sekalipun. Mochtar Riady berhasil meyakinkan Andi Gappa, pemilik Bank Kemakmuranyang bermasalah tersebut sehingga ia pun ditunjuk menjadi direktur di bank tersebut.
Di hari pertama sebagai direktur, Mochtar Riady sangat pusing melihat ''balance sheet'', dia tidak membaca dan memahaminya, namun Mochtar Riady pura-pura mengerti di depan pegawai akunting. Sepanjang malam dia mencoba belajar dan memahami balance sheet tersebut, namun sia-sia, lalu dia meminta tolong temannya yang bekerja diStandard Chartered Bank untuk mengajarinya, tetapi masih saja tidak mengerti.
Akhirnya, dia berterus terang terhadap para pegawainya dan Pak Andi Gappa, tentu saja mereka cukup terkejut mendengarnya. Permintaan Mochtar Riady pun untuk mulai bekerja dari awal disetujuinya, mulai dari bagian kliring, cash, dan checking account. Selama sebulan penuh, Mochtar Riady belajar dan akhirnya ia pun mengerti tentang proses pembukuan, dan setelah membayar seorang guru privat, ia akhirnya mengerti apakah itu akuntansi. Maka mulailah dia menjual kepercayaan, hanya dalam setahun Bank Kemakmuran mengalami banyak perbaikan dan tumbuh pesat.
Setelah cukup besar, pada tahun 1964, Mochtar Riady pindah ke Bank Buana, kemudian pada tahun 1971, dia pindah lagi ke Bank Panin yang merupakan gabungan dari Bank Kemakmuran, Bank Industri Jaya, dan Bank Industri Dagang Indonesia.
Kunci Sukses[sunting | sunting sumber]
Mochtar Riady hampir selalu sukses dalam mengembangkan sebuah bank, dia memiliki filosofi tersendiri yang ia sebut sebagai Lie Yi Lian Dje. Lie berarti ramah, Yi memiliki karakter yang baik, Lian adalah kejujuran, sedangkan Dje adalah memiliki rasa malu. Visi dan pandangan Riady yang jauh ke depan sering kali membuat orang kagum, dia dapat dengan cepat membaca situasi pasar dan dengan segera pula menyikapinya.
Salah satu contohnya, ketika dia berhasil menyelamatkan Bank Buana tahun 1966. Saat itu Indonesia sedang mengalami masa krisis karena Indonesia berada pada masa perubahan ekonomi secara makro, ketika itu Riady sedang berkuliah malam di Universitas Indonesia, di situ dia dikenalkan dengan beberapa pakar ekonomi seperti Emil Salim,Ali Wardhana,dkk. Mochtar Riady segera sadar dan segera mengubah arah kebijakan Bank Buana.
Pertama, dia menurunkan suku bunga dari 20 % menjadi 12 %, padahal pada waktu itu semua bank beramai-ramai menaikkan suku bunganya. Karena suku bunga yang rendah tersebut, maka para nasabah yang memiliki kredit yang belum lunas segera membayar kewajibannya.
Sedangkan para usahawan yang akan meminjam diberi syarat ketat khususnya dalam hal jaminan, namun karena bunga yang ditawarkan Bank Buana sangat rendah dibanding yang lain maka banyak debitur yang masuk dan tak ragu untuk memberikan jaminan. Dengan cara itu Bank Buana menjadi sehat, padahal pada waktu itu banyak klien dan bank yang bangkrut. Dengan otomatis, orang mengenal siapa Mochtar Riady.
Sejarah Jaringan Bisnis[sunting | sunting sumber]
Mochtar Riady yang lahir di Malang, Jawa Timur 12 Mei 1929 adalah pendiri Lippo Group, sebuah grup yang memiliki lebih dari 50 anak perusahaan. Jumlah seluruh karyawannya diperkirakan lebih dari 50 ribu orang. Aktivitas perusahaannya tidak hanya di Indonesia, tetapi juga hadir di kawasan Asia Pasifik, terutama di Hong Kong, Guang Zhou, Fujian, dan Shanghai.
Sejarah Lippo Group bermula ketika Mochtar Riady yang memiliki nama Tionghoa, Lie Mo Tie membeli sebagian saham di Bank Perniagaan Indonesia milik Haji Hasyim Ningpada 1981. Waktu dibeli, aset bank milik keluarga Hasyim telah merosot menjadi hanya sekitar Rp 16,3 miliar. Mochtar sendiri pada waktu itu tengah menduduki posisi penting diBank Central Asia, bank yang didirikan oleh keluarga Liem Sioe Liong. Ia bergabung dengan BCA pada 1975 dengan meninggalkan Bank Panin.
Di BCA, Mochtar mendapatkan share sebesar 17,5 persen saham dan menjadi orang kepercayaan Liem Sioe Liong. Aset BCA ketika Mochtar Riady bergabung hanya Rp 12,8 miliar. Mochtar baru keluar dari BCA pada akhir 1990 dan ketika itu aset bank tersebut sudah di atas Rp5 triliun.
Bergabung dengan Hasyim Ning membuat ia bersemangat. Pada 1987, setelah ia bergabung, aset Bank Perniagaan Indonesia melonjak naik lebih dari 1.500 persen menjadi Rp257,73 miliar. Hal ini membuat kagum kalangan perbankan nasional. Ia pun dijuluki sebagai The Magic Man of Bank Marketing.
Dua tahun kemudian, pada 1989, bank ini melakukan merger dengan Bank Umum Asia dan semenjak saat itu lahirlah Lippobank. Inilah cikal bakal Lippo Group. Saat ini Lippo Group memiliki lima cabang bisnis yakni :
1. Jasa keuangan: perbankan, reksadana, asuransi, manajemen asset, sekuritas.
2. Properti dan urban development: kota satelit terpadu, perumahan, kondominium, pusat hiburan dan perbelanjaan, perkantoran dan kawasan industri.
3. Pembangunan infrastruktur seperti pembangkit tenaga listrik, produksi gas, distribusi, pembangunan jalan raya, pembangunan sarana air bersih, dan prasarana komunikasi.
4. Bidang industri yang meliputi industri komponen elektronik, komponen otomotif, industri semen, porselen, batu bara dan gas bumi. Melalui Lippo Industries, grup ini juga aktif memproduksi komponen elektonik seperti kulkas dan AC merk Mitsubishi. Sedangkan komponen otomotif perusahaan yang dipimpin Mochtar ini sukses memproduksi kabel persneling.
5. Bidang industri yang meliputi industri komponen elektronik, komponen otomotif, industri semen, porselen, batu bara dan gas bumi. Melalui Lippo Industries, grup ini juga aktif memproduksi komponen elektronik seperti kulkas dan AC merk Mitsubishi. Sedangkan komponen otomotif perusahaan yang dipimpin Mochtar ini sukses memproduksi kabel persneling.
Terkenal Dengan[sunting | sunting sumber]
Dia dijuluki sebagai The Magic Man of Bank Marketing. Chairman Group Lippo ini dikenal sebagai seorang praktisi perbankan yang handal. Bahkan patut digelari seorang filsuf bisnis jasa keuangan yang kaya ide dan solusi mengatasi masalah. Seorang konglomerat yang visioner dan sarat dengan filosofi bisnis. Dia pantas menjadi panutan bagi para pengusaha dan pelaku pasar serta siapa saja yang ingin belajar dari pengalaman orang lain.
Dalam RUPS PT Bank Lippo Tbk (LippoBank), Jumat 4 Maret 2005, Mochtar Riady mengundurkan dari jabatan komisaris utama agar bisnis keluarga tersebut berubah menjadi entitas bisnis kelembagaan yang sepenuhnya berjalan atas tuntutan profesionalisme. Pengunduran ini menandai tidak adanya lagi keluarga Riady yang duduk jajaran pimpinan LippoBank.
Mochtar Riady yang lahir di Malang, Jawa Timur 12 Mei 1929, setidaknya diakui kehandalannya sebagai filsuf bisnis Grup Lippo yang didirikannya. Di Grup Lippo ini, dia berhasil mengader James Tjahaya Riady (puteranya) dan Roy Edu Tirtadji menjadi filsuf bisnis handal juga. James dan Roy telah siap mendampingi dan melanjutkan visi bisnisnya. Mereka tampil sebagai filsuf dan pemikir sekaligus panglima yang menentukan arah bisnis semua perusahaan yang bernaung di bawah bendera Lippo, baik pada masa tenang apalagi pada masa sulit.
Masih ingat, ketika Bank Lippo di goyang rumor kalah kliring pada November 1995? Mochtar, pemilik nama Tionghoa, Lie Mo Tie, ini mampu mengatasinya dengan cepat. Dia laksana panglima perang yang dengan cerdas dan cekatan memonitor setiap perkembangan lapangan detik demi detik, serta memberikan instruksi-instruksi penting ke semua lini jajaran di bawahnya. Rumor kalah kliring itu pun dienyahkan dan bendera Bank Lippo pun makin berkibar.
Lippo Group[sunting | sunting sumber]
Lippo Group, memiliki lebih dari 50 anak perusahaan. Karyawannya diperkirakan lebih dari 50 ribu orang. Aktivitas grup ini, selain di Indonesia, juga merambah di kawasan Asia Pasifik, terutama di Hong Kong, Guang Zhou, Fujian dan Shanghai. Saat ini Grup Lippo paling tidak memiliki 5 area bisnis utama.
Pertama, jasa keuangan yang meliputi perbankan, investasi, asuransi, sekuritas, manajemen aset dan reksadana. Jasa keuangan ini adalah core bisnis Lippo. Dalam bisnis keuangan ini, Lippo cukup konservatif. Sehingga bank ini selamat dari guncangan krisis moneter, walaupun sempat digoyang isu kalah kliring (1995) dan persoalan rekapitalisasi (1999). Perusahaan sekuritasnya, Lippo Securities, juga memiliki reputasi yang cukup baik. Begitu pula di bidang investasi, yakni Lippo Investment Management, Lippo Finance dan Lippo Financial. Juga jasa asuransi dengan tiga perusahaan penting yaitu AIG Lippo (Lippo Insurance) dan Asuransi Lippo (Lippo General Insurance).
Kedua, properti dan urban development. Bisnis yang meliputi pembangunan kota satelit terpadu, perumahan, kondominium, pusat hiburan dan perbelanjaan, perkantoran dan kawasan industri. Lippo tidak hanya membangun perumahan, tetapi suatu kota yang lengkap dengan berbagai infrastruktur. Di tiga kota yang telah dibangun, yaitu Lippo Cikarang, Bekasi di timur Jakarta, Bukit Sentul, Bogor di selatan Jakarta, dan Lippo Karawaci, Tangerang di barat Jakarta, para penghuni bisa mengakses TV Cable sekaligus fasilitas internet.
Ketiga, pembangunan infrastruktur seperti pembangkit tenaga listrik, produksi gas, distribusi, pembangunan jalan raya, pembangunan sarana air bersih, dan prasarana komunikasi. Hampir semua bisnis ini dikonsentrasikan di luar negeri dan dikontrol oleh kantor pusat Lippo Group yang berbasis di Hong Kong, dipimpin puteranya Stephen Riady. Aktivitas bisnisnya, antara lain, pembangunan jalan tol di Guang Zhou, pembangunan kota baru Tati City di Provinci Fujian, Gedung Perkantoran Plaza Lippo di Shanghai dan membangun kawasan perumahan elit dan perkantoran di Hong Kong.
Keempat, bidang industri yang meliputi industri komponen elektronik, komponen otomotif, industri semen, porselen, batu bara dan gas bumi. Lippo Industries, memproduksi komponen elektonik seperti kulkas dan AC merk Mitsubishi, serta komponen otomotif memproduksi kabel persneling.
Kelima, bidang jasa-jasa yang meliputi teknologi informasi, bisnis ritel, rekreasi, hiburan, hotel, rumah sakit, dan pendidikan. Ada beberapa hal yang kontroversi yang dilakukan Mochtar dan James yang mendapat perhatian media massa. Pertama ketika ia membangun Rumah Sakit untuk kelas atas di Lippo Karawaci. Untuk itu, Mochtar berani menggandeng Gleneagles Hospital yang berbasis di Singapura. ”Dari pada orang-orang kaya kita pergi ke Singapura, kan lebih baik kita bawa saja Gleneagles ke Indonesia.” kata Mochtar ketika Rumah Sakit itu diluncurkan.
Selain Rumah Sakit, ia juga mendirikan Sekolah Pelita Harapan. Sekolah ini mendapat sorotan karena biayanya menggunakan dolar AS dan dinilai mahal untuk saat itu. Tetapi para pendiri Lippo beranggapan bahwa pendidikan yang disediakan oleh Sekolah Pelita Harapan adalah yang terbaik. Selain wajib berbahasa Inggris, mereka memperoleh tambahan pendidikan ekstra kurikuler seperti pelajaran musik, berkuda dan ilmu komputer. Guru-guru pun didatangkan dari Amerika.
Di bisnis ritel, ketika Grup Lippo mengumumkan akhir 1996 membeli lebih dari 50 persen saham Matahari Putra Prima, perusahaan ritel terbesar yang dimiliki Hari Darmawan, banyak orang terkejut. Namun itu merupakan strategi penting Lippo untuk masuk ke dunia bisnis ritel. Supermal raksasa telah dibangun dan Matahari merupakan salah satu penyewa terbesar. Selain Matahari, Wal Mart dan JC Penney juga turut memeriahkan Lippo Supermal yang memiliki luas 210.000 meter persegi.
Sejarah Lippo Group[sunting | sunting sumber]
Sejarah Lippo Group bermula ketika Mochtar Riady yang memiliki nama Tionghoa, Lie Mo Tie membeli sebagian saham di Bank Perniagaan Indonesia milik Haji Hasyim Ning pada 1981. Waktu dibeli, aset bank milik keluarga Hasyim telah merosot menjadi hanya sekitar Rp 16,3 miliar. Mochtar sendiri pada waktu itu tengah menduduki posisi penting di Bank Central Asia, bank yang didirikan oleh keluarga Liem Sioe Liong. Ia bergabung dengan BCA pada 1975 dengan meninggalkan Bank Panin.
Di BCA Mochtar mendapatkan share sebesar 17,5 persen saham dan menjadi orang kepercayaan Liem Sioe Liong. Aset BCA ketika Mochtar bergabung hanya Rp 12,8 miliar. Mochtar baru keluar dari BCA pada akhir 1990 dan ketika itu aset bank tersebut sudah di atas Rp 5 triliun.
Bergabung dengan Hasyim Ning membuat ia bersemangat. Pada 1987, setelah ia bergabung, aset Bank Perniagaan Indonesia melonjak naik lebih dari 1.500 persen menjadi Rp 257,73 miliar. Hal ini membuat kagum kalangan perbankan nasional. Ia pun dijuluki sebagai The Magic Man of Bank Marketing. Dua tahun kemudian, pada 1989, bank ini melakukan merger dengan Bank Umum Asia dan semenjak saat itu lahirlah Lippobank. Inilah cikal bakal Lippo Group.
Cita-Cita jadi Bankir[sunting | sunting sumber]
Jalan berliku ditempuhnya untuk mencapai cita-cita menjadi seorang bankir. Mochtar Riady sudah bercita-cita menjadi seorang bankir di usia 10 tahun. Ketika itu, anak dari pedagang batik, ini setiap hari berangkat sekolah selalu melewati gedung megah kantor Nederlandsche Handels Bank (NHB) dan melihat para pegawai bank itu berpakaian rapih serta selalu sibuk. Sejak itu, dia berharap saat dewasa akan menjadi seorang bankir.
Belum cita-citanya terwujud, pada tahun 1947, Riady ditangkap oleh pemerintah Belanda dan di buang ke Nanking, Cina. Lalu, di sana ia menggunakan kesempatan kuliah filosofi di University of Nanking. Tapi akibat perang, Riady terpaksa pergi ke Hongkong hingga tahun1950 dan kemudian kembali ke Indonesia.
Sekembali ke Indonesia, Riady masih sangat ingin mewujudkan cita-citanya menjadi seorang bankir. Tapi ayahnya tidak mendukung. Karena menurut ayahnya, profesi bankir hanya untuk orang kaya, sedangkan kondisi keluarga mereka saat itu sangat miskin.
Pada tahun 1951, ia menikahi gadis pilihannya asal jember. Kemudian, mertuanya memberinya tanggungjawab untuk mengurus sebuah toko kecil. Hanya dalam tempo tiga tahun, dia berhasil memajukan toko tersebut menjadi yang terbesar di kota Jember. Namun, keinginan menjadi seorang banker membuatnya kurang betah mengurusi toko itu.
Pada tahun 1954, dia pun memutuskan pergi ke Jakarta walaupun ditentang oleh keluarganya. Dia berprinsip bahwa jika sebuah pohon ditanam di dalam pot atau di dalam rumah tidak akan pernah tinggi, namun akan terjadi sebaliknya bila ditanam di sebuah lahan yang luas. Dia merasa yakin akan dapat mewujudkan cita-cita menjadi bankir di kota metropolitan, kendati saat itu tidak memiliki seorang kenalan pun di Jakarta.
Mula-mula, dia bekerja di sebuah perusahaan komanditer di Jalan Hayam Wuruk selama enam bulan. Kesempatan itu dia gunakan untuk mulai membuka relasi. Kemudian ia bekerja pada seorang importer. Relasi pun mulai semakin banyak. Pada saat bersamaan, ia pun bekerjasama dengan temannya untuk berbisnis kapal kecil.
Dia belum juga bisa mewujudkan cita-citanya menjadi seorang bankir. Saat itu, kepada para sahabat, ia selalu mengutarakan cita-citanya itu. Lalu suatu saat, salah seorang temannya mengabari bahwa ada sebuah bank, Bank Kemakmuran, yang lagi terkena masalah. Riady tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Walau belum punya pengalaman sedikit pun, dia berhasil meyakinkan Andi Gappa, pemilik bank yang bermasalah itu, sehingga ia pun ditunjuk menjadi direktur.
Bayangkan, seorang yang belum berpengalaman sehari pun di bank atau sebagai akuntan, langsung diangkat menjadi direktur. Pada hari pertama sebagai direktur, Riady sangat pusing melihat balance sheet. Dia tidak bisa membaca dan memahaminya. Tapi, dia pura-pura mengerti di depan pegawai akunting. Lalu, sepanjang malam dia belajar untuk memahami balance sheet tersebut, namun sia sia. Kemudian, dia minta tolong kepada temannya yang bekerja di Standar Chartered Bank untuk mengajarinya. Tetapi dia masih belum mengerti.
Begitu galau hati dan pikirannya. Bagaimana pun kepura-puraan itu, cepat atau lambat, akan ketahuan juga. Akhirnya, dia berterus terang kepada para pegawainya dan Andi Gappa, si pemilik bank. Tentu saja mereka sangat terkejut mendengar pengakuan itu. Riady pun meminta diberi kesempatan mulai bekerja dari dasar. Andi Gappa menyetujuinya. Riady bekerja mulai dari bagian kliring, cash dan checking account.
Dia menggunakan kesempatan itu bekerja sambil belajar dengan baik. Hanya dalam satu bulan, ia pun mengerti tentang proses pembukuan. Dia pun membayar seorang guru privat, yang mengajarinya akuntansi.
Setelah itu, dia pun menunjukkan kelebihan sebagai seorang bankir. Hanya dalam setahun, Bank Kemakmuran mengalami banyak perbaikan dan tumbuh pesat. Setelah bank itu tumbuh dengan sehat, pada tahun 1964, Riady pindah ke Bank Buana, di sini dia juga mengukir berbagai kaeberhasilan. Ketika itu (1966), dia berhasil menyelamatkan Bank Buana dari kesulitan. Saat itu Indonesia sedang mengalami masa krisis akibat perubahan ekonomi secara makro.
Dia mengambil langkah jitu untuk menyelamatkan Ban Buana dari akrisis itu. Dia menurunkan suku bunga dari 20 % menjadi 12 %. Padahal pada waktu itu semua bank beramai-ramai menenaikkan suku bunganya. Karena suku bunga yang rendah tersebut, maka para nasabah yang memiliki kredit yang belum lunas segera membayar kewajibannya. Di sisi lain, banyak usahawan (debitur) yang ingin meminjam kendati diberi syarat ketat terutama dalam hal jaminan. Dengan cara itu, Bank Buana menjadi sehat. Sementara, saat itu ada beberapa bank yang bangkrut.
Nama Mochtar Riady pun mencuat, sebagai bankir bertangan dingin. Kemudian tahun 1971, dia pindah lagi ke Bank Panin yang merupakan gabungan dari Bank Kemakmuran, Bank Industri Jaya dan Bank Industri Dagang Indonesia. Lalu tahun 1975, ia meninggalkan Bank Panin dan bergabung dengan BCA, bank yang didirikan oleh keluarga Liem Sioe Liong. Di BCA, dia mendapatkan saham sebesar 17,5 persen dan menjadi seorang penentu kebijakan. Ketika Mochtar bergabung aset BACA hanya Rp 12,8 miliar. Saat dia keluar dari BCA pada akhir 1990 aset bank tersebut sudah di atas Rp 5 triliun.
Pada setiap bank, sentuhan tangan Riady hampir selalu berbuah sukses. Dia mengaku memiliki filosofi tersendiri yang disebut sebagai Lie Yi Lian Dje. Lie berarti ramah, Yi memiliki karakter yang baik, Lian kejujuran dan Dje memiliki rasa malu. Selain itu, visi dan pandangannya yang jauh ke depan ketangkasannya membaca situasi pasar dan dengan segera pula menyikapinya, telah membuat namanya semakin disegani kalangan perbankan.
Sementara, untuk memperdalam dan mempertajam pengalamannya, dia pun menyempatkan diri kuliah malam di Universitas Indonesia (UI). Di situ pula dia berkenalan dengan beberapa pakar ekonomi seperti Emil Salim, Ali Wardhana dan lain-lain.
Tantangan Globalisasi[sunting | sunting sumber]
Sebagai seorang chairman yang memimpin puluhan CEO harus diakui bahwa Mochtar Riady memiliki visi yang jauh ke depan. Pengetahuannya yang luas dan pengalamannya telah membuat Grup Lippo selamat melewati badai dan guncangan krisis ekonomi berkepanjangan. Pada pertengahan 1995 ia pernah berkata, bahwa dunia sedang mengalami perubahan yang sangat cepat.
”Apabila kita berbicara tentang globalisasi kita sebenarnya didorong ke suatu era yang lebih jauh lagi, yaitu era era globalisasi ditambah liberalisasi tanpa batas negara. Semua itu terjadi karena dua faktor, yaitu revolusi teknologi informasi dan revolusi mata uang,” kata Mochtar.
Menurutnya, sejarah manusia sudah mengalami beberapa kali perubahan cara hidup karena penemuan-penemuan di bidang energi dan teknologi. Pada era 50-an, khususnya di Amerika Serikat terjadi perubahan gaya hidup, yakni masyarakat industri berubah menjadi masyarakat informasi. Akibat dari perubahan itu Amerika harus memindahkan labour intensive industry-nya ke negara-negara lain seperti Jerman Barat dan Jepang.
Tak lama Jepang pun mengalami hal yang sama sehingga harus memindahkan industrinya ke Hong Kong, Singapura, Korea Selatan dan Taiwan. Dan ketika negara-negara tersebut menjadi macan Asia, mereka pun mengalami perubahan structural dalam masyarakatnya sehingga perlu memindahkan industrinya ke RRT dan negara-negara ASEAN.
Perpindahan industri ini menimbulkan investasi silang antarbangsa dan menimbulkan pula apa yang disebut dengan Asia-Euro-Dolar. Inilah era globalisasi. Dengan era globalisasi sedemikian ini timbul suatu ketergantungan antar suatu negara dengan negara lain. Kondisi tersebut meningkatkan hubungan perekonomian dan perdagangan sehingga dibutuhkan peraturan permainan ekonomi internasional.
Menurut catatan Mochtar, ada tiga perjanjian penting yang muncul pada 1994, yaitu GATT, WTO, dan APEC. Kalau ketiga organisasi internasional ini dihubungakan dengan organisasi lain seperti World Bank, IMF, ADB, Uni Eropa, AFTA, dan NAFTA, maka akan semakin jelas kalau organisasi-organisasi international ini semakin berperan penting menggantikan peranan pemerintah individu di dunia. Di sinilah dunia akan memasuki era globalisasi tanpa batas negara (borderless).
Sementara itu pada saat yang bersamaan dunia sedang menyaksikan terjadinya revolusi mata uang. Sebagai contoh, setiap hari terjadi transaksi foreign exchange FOREX) lebih dari US$800 miliar, tetapi hanya sekitar US$10 miliar yang memiliki kaitan dengan fungsi alat pembayaran. Sisanya, 90,85 persen tidak ada hubungannya dengan fungsi alat pembayaran, tetapi berhubungan dengan barang dagangan. Kalau sudah menjadi barang dagangan tentu timbul pasar derivatif.
”Derivatif itu sifatnya spekulatif, sementara spekulatif itu adalah perjudian (gambling). Dengan demikian timbullah suatu kasino yang besar dan kuat di dunia. Sadar atau tidak sadar, senang atau tidak senang, siap atau tidak siap, kita sudah terlibat di dalam perjudian setiap hari,” kata Mochtar yang pernah menjadi Chairman Asian Banker Association pada 1992. Selanjutnya menurutnya, jumlah transaksi yang begitu besar, sekalipun lima negara maju menggabungkan forex reserve-nya tidak akan sanggup mengalahkan jumlah transaksi forex dalam sehari. Ini berarti tidak ada satu negara di dunia ini yang bisa memberikan counter exchange terhadap spekulasi.
Dua revolusi, revolusi teknologi yang dicerminkan dengan sistem super highway dan revolusi keuangan yang begitu cepat mutasinya membawa manusia kepada situasi yang serba cepat, serba berubah, serba tidak mantap, dan serba tidak pasti. ”Oleh karena itu, suatu bangsa atau suatu perusahaan harus memberikan reaksi yang cepat, kalau tidak bangsa atau perusahaan itu akan menghadapi masalah dan tekanan,” tegasnya.
BUMN Harus Lebih Berperan[sunting | sunting sumber]
Menurut Mochtar, yang mempunyai enam putra dan putri, untuk bisa bersaing di era globalisasi pemerintah harus semakin meningkatkan produktivitas BUMN.
Dikatakan, BUMN masih menguasai lebih dari 50 persen perekonomian nasional dan secara tidak sadar menikmati oligopoli dan monopoli. Tidak ada jalan lain selain membuat BUMN menjadi perusahaan yang efisien, menguntungkan, dan kalau perlu bisa segera go public. Sebagai perbandingan, menurut Mochtar, di RRT lebih dari 50 BUMNtelah masuk ke pasar modal. Bagaimana dengan Indonesia?
Sekarang kita berada pada abad yang mementingkan perbandingan teknologi dan mutu manusia. Itulah sebabnya ia sangat memperhatikan mutu pendidikan di Indonesia. Mendirikan Sekolah Pelita Harapan dan Universitas Harapan adalah bagian dari kepeduliannya terhadap dunia pendidikan nasional. Belum lama ini ia pun ditunjuk menjadi Wali Amanah Universitas Indonesia.
Mochtar yang pernah mengenyam pendidikan di The Eastern College, Chung Yang University, Nanking, RRT ini memiliki obsesi agar manusia Indonesia memiliki kualitas yang setara dengan masyarakat maju lain hingga siap memasuki era globalisasi.
Mochtar Riady, yang senang membaca buku Peter Drucker dan Prof Freeman memperoleh gelar Doctor of Laws dari Golden Gate University, San Francisco, Amerika Serikat dan pernah menjadi pembicara tamu di Universitas Harvard pada pertengahan 1984. Pada saat senggang, salah seorang filsuf Grup Lippo ini lebih senang melakukan perjalanan ke sejumlah proyeknya.
Apa arti globalisasi buat Lippo? Menurutnya, perusahaan dan para eksekutifnya harus lebih cepat lagi mengantisipasi perubahan yang sangat cepat ini. Itulah sebabnya ia sangat hati-hati memilih orang-orang yang akan menduduki posisi Chief Executive Officer-nya
9. Peter Sondakh
Karier[sunting | sunting sumber]
Peter Sondakh lahir di tahun 1953. Ayahnya memulai bisnisnya sejak 1954, memproduksi minyak kelapa serta mengekspor kayu. Tahun 1954, ayahnya merupakan inspirasi bisnisnya, meninggal dan akhirnya mewariskan bisnis kecilnya. Dia, Peter Sondakh, yang baru 20 tahun harus mengambil alih bisnis mencari nafkah untuk keluarga. Dia harus membiayai ibu serta empat orang
Ia yang berumur 22 tahun, mengambil alih bisnis minyak kelapa dan ekspor kayu, mendirikan PT. Rajawali Corporation. Melalui Rajawali Corporation, ia memulai bisnis properti sebagai perluasan usaha yang ditekuni ayahnya. Peter mencoba memasuki korporasi besar, berkat keahlian kumonikasinya ia dekat dengan orde baru. Menyadari bisnis properti tidak menguntungkan, tahun 1984, menjalin kerja sama dengan PT. Rajawali Corporation miliknya.
Rajawali Corporation[sunting | sunting sumber]
Seperti burung Rajawali, Peter Sondakh kelihatan tak pernah lelah mengepakkan sayap usahanya. Mata dan penciumannya setajam Rajawali, mampu mengendus peluang bisnis yang layak ditubruk. Tak heran, gebrakannya lewat perusahaan holding yang didirikannya, PT Rajawali Corporation (RC), belakangan kerap mengejutkan.
Berdasarkan catatan PDBI periode 1976-1996 tadi, ada 13 perusahaan yang diakuisisi dan 6 perusahaan didivestasi. Di sisi lain, grup usaha ini memiliki andil (penyertaan saham) di 13 perusahaan. Adapun total anak usaha dan perusahaan terafiliasi yang dimiliki Peter mencapai 49 perusahaan. Sebagai holding company di lingkungan Rajawali Corporation.
Krismon sempat menenggelamkan nama Peter Sondakh dan Grup Rajawali-nya. Namun, lewat serangkaian aksi jual-beli perusahaan dan fokus pada tiga bidang (properti, pertambangan dan perkebunan), Sang Rajawali siap terbang tinggi menjadi global player yang disegani. Seperti burung Rajawali, Peter Sondakh kelihatan tak pernah lelah mengepakkan sayap usahanya. Mata dan penciumannya setajam Rajawali, mampu mengendus peluang bisnis yang layak ditubruk. Tak heran, gebrakannya lewat perusahaan holding yang didirikannya, PT Rajawali Corporation (RC), belakangan kerap mengejutkan. Tak seperti pebisnis lokal lain yang lebih suka membangun bisnis dari awal, Peter dikenal sebagai sosok pebisnis yang rajin jual-beli perusahaan. Karenanya, ada orang yang lebih suka menyebutnya sebagai investor ketimbang pebisnis.
Saat peluncuran stasiun televisi Rajawali Televisi (RTV) pada akhir pekan lalu, publik pun tak kaget lagi. Di stasiun televisi yang semula bernama B-Channel ini, Peter menjabat sebagai CEO Rajawali Corporation.[1]
Sejarah Rajawali Corporation[sunting | sunting sumber]
Melalui Rajawali Corporation, ia membangun kemitraan mengembangakan Hyatt Hotel dan Novotel Sheraton menjadi jaringan hotel bintang lima. Pada tahun 2009, perusahaan mengakuisisi jaringan hotel berbintang lima lain di luar Indonesia. Ini peluang besar dengan Surfers ParadiseRESORT Hotel Pty. lmtd dari Australia. Perusahaan tersebut merupakan jaring hotel di Australia yang baru-baru ini membangun St. Regis Resort di Bali.
Setelah kehilangan banyak uang dari transaksi properti, Sondakh menyadari bahwa sudah waktunya untuk memulai cara yang lebih diandalkan dari pendapatan. Dia memperluas bisnis ayahnya dan pada tahun 1984, perusahaan Rajawali Corporation adalah mitra bisnis pertamanya. Bersama-sama, mereka membangun Grand Hyatt di Jakarta dan kemudian.
10. Sukanto Tanoto
Sukanto Tanoto (Hanzi Tradisional: 陳江和; Hanzi Sederhana: 陈江和; pinyin: Chén Jiānghé; 25 December 1949)[2] merupakan pengusaha Indonesia yang memulai usaha di industry pengolahan kayu. Pada tahun 2013, dia adalah salah satu pengusaha terkaya di Indonesia dengan nilai aset sebesar 2,3 milyar dollar.[3][4] Berawal sebagai pemasok peralatan dan kebutuhan bagi perusahaan minyak negara Pertamina, Sukanto Tanoto merintis usaha di bidang kehutanan pada tahun 1972.[5] Kepentingan bisnis Sukanto Tanoto dijalankan oleh kelompok usaha the Royal Golden Eagle International (RGEI), yang dulu dikenal sebagai Raja Garuda Mas.[6]
Biografi[sunting | sunting sumber]
Lahir di Belawan, Medan pada hari Natal 1949, Sukanto Tanoto merupakan anak tertua dari tujuh laki-laki bersaudara.[2] Ayahnya adalah seorang imigran dari kota Putian, provinsi Fujian, daratan Tiongkok. Pada tahun 1966, Sukanto Tanoto terpaksa berhenti sekolah setelah sekolah Tiongkok pada waktu itu ditutup oleh rejim Orde Baru, Presiden Suharto. Dia tidak dapat meneruskan sekolah ke sekolah nasional karena ayahnya masih berkewarganegaraan Tiongkok.[2]
Setelah sang ayah meninggal secara mendadak, Sukanto Tanotolah yang harus menjalankan bisnis keluarga. Secara bertahap Sukanto Tanoto mengembangkan bisnisnya mulai dari perdagangan umum hingga memenangkan kontrak-kontrak bisnis pembangunan jaringan pipa gas internasional. Pada saat terjadi krisis minyak di tahun 1972 yang menyebabkan harga minyak dunia melambung, Sukanto Tanoto mendapatkan keuntungan dari bisnis kliennya yang berkembang secara pesat. Dengan tambahan modal usaha, Sukanto Tanoto mengalihkan perhatiannya pada bisnis yang berbeda di tahun 1973, pada saat itu Indonesia menjadi pengekspor kayu log ke Jepang dan Taiwan untuk diolah menjadi plywood, sebelum diimpor kembali ke Indonesia dengan harga yang mahal.[2]
Sukanto Tanoto melihat situasi tersebut sebagai peluang untuk membangun sendiri pabrik pengolahan kayu di Indonesia. Namun, untuk merealisasikan hal itu, dia membutuhkan ijin. Di zaman pemerintahan Presiden Suharto, ijin-ijin tersebut hanya bisa diperoleh dari para pejabat yang merupakan mantan Jenderal TNI. Sukanto Tanoto dipaksa untuk bekerja bersama seorang Jenderal yang memberikannya restu untuk membangun sebuah pabrik plywood pertama di Indonesia. Pejabat tersebut kemudian yakin akan potensi yang besar dari sebuah pabrik pengolahan kayu setelah melihat pabrik tersebut selesai dibangun olehnya. Dengan berdirinya pabrik pengolahan kayu tersebut terbukalah peluang nilai tambah bagi ekonomi Indonesia serta penciptaan lapangan kerja. Pabrik tersebut diresmikan oleh Presiden Suharto dan mulai beroperasi pada tahun 1975.[2]
Sukanto Tanono merupakan pengusaha otodidak dan tidak menyelesaikan pendidikan formal di bangku sekolah. Ia belajar bahasa Inggris kata demi kata menggunakan kamus bahasa Tiongkok – Inggris dan akhirnya mampu mengikuti sekolah bisnis di Jakarta pada pertengahan tahun 1970. Ia kemudian melanjutkan belajar di INSEAD diFontainebleau, Perancis.[2]
Pada tahun 1997, Sukanto Tanoto memilih menetap di Singapura bersama keluarganya, dan mendirikan kantor pusatnya di sana.[6] Sukanto Tanoto tetap merupakan warga negara dan memegang paspor Indonesia.[2]
Aktivitas Bisnis[sunting | sunting sumber]
Kepentingan bisnis Sukanto Tanoto dijalankan oleh kelompok usaha the Royal Golden Eagle International (RGEI). Grup bisnis tersebut memiliki jumlah karyawan lebih dari 50.000 orang yang tersebar di seluruh dunia dengan total aset lebih dari 15 milyar dolar, yang meliputi empat area bisnis utama: pulp dan kertas (APRIL), agro industri (Asian Agri), dissolving wood pulp dan viscose staple fibre (sateri Holdings Limited) dan pengembangan sumber daya energy (Pacific Oil & Gas).[6] APRIL harus menghadapi kontroversi tentang konservasi yang berhubungan dengan pemanfaatan hutan alam di Sumatera.[7][8] Kontroversi tersebut menyebabkan perusahaan mengundurkan diri dari keanggotaanForest Stewardship Council di April 2010. Pada September 2011, Fuji Xeroxmenghentikan menjual kertas yang diproduksi oleh APRIL. Perusahaan membantah tuduhan-tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa perusahaan memiliki komitmen untuk mengimplementasikan praktik-praktik mitigasi perubahan iklim dan mendukung upaya-upaya pembangunan berkelanjutan. |url=http://www.fujixerox.com/eng/company/ecology/topics/2011/0901_april.html</ref> The company has denied the claims, stating it has a commitment to implement practices that mitigate climate change and promote sustainability.[9]
Kegiatan Pilantropi[sunting | sunting sumber]
Sukanto Tanoto menyadari pentingnya program-program tanggung jawab sosial (APP), Sukanto Tanoto membangun sekolah-sekolah, mendirikan program pertanian terpadu yang mengajarkan masyarakat desa untuk menjalankan praktik pertanian alternatif dan tidak lagi melakukan praktik penebangan dan pembakaran lahan. Selain itu, perusahaan menyampaikan laporan program pembangunan berkelanjutan kepada lembaga swadaya masyarkat, seperti kepada WWF, setelah lembaga tersebut menyampaikan masukan tentang konservasi hutan di Riau.[10]
Sukanto Tanoto juga mendirikan Tanoto Foundation,[11] yang memberikan penghargaan professorship awards. Di tahun 2007, award senilai 130 ribu dolar diberikan kepada dua peneliti Indonesia untuk melakukan penelitian teknologi yang memiliki kewajiban sosial.[12]
Tanoto Foundation (TF) menyumbang pembangunan perpustakaan INSEAD di Singapura pada 2005, yang kemudian diberinama Tanoto Library. TF juga mendanai program professor di bidang metabolisma dan endokrinologi di Duke-NUS Graduate Medical School di Singapura dan merupakan donor regular bagi Carnegie Mellon, untuk mendanai Tanoto Professor of Electrical and Computer Engineering.[13]
Sumber : Wikipedia Indonesia
No comments:
Post a Comment